Sejarah Kejayaan Majalah Rolling Stone – 15 April 2013 hendak senantiasa terdaftar dalam asal usul Amerika. Hari itu, ribuan orang terkumpul di kegiatan tahunan Maraton Boston. Jam 02. 49, 2 bom yang dibuat dari kuali besi presto meledak di dekat garis finish. Banyak orang berdarah. 3 orang berpulang, serta ratusan yang lain cedera.
Sejarah Kejayaan Majalah Rolling Stone
azizahmagazine – 3 hari setelah itu, FBI memublikasikan lukisan terdakwa: kakak adik Amerika- Kirgistan, Dzhokhar Tsarnaev serta Tamerlan Tsarnaev. Dalam suatu segmen penggerebekan penangkapan yang mengaitkan dasar bertembakan, Tamerlan kena bertembakan sebagian kali, serta dilindas mobil yang dikendarai Dzhokhar.
Diansir dari tirto.id, FBI setelah itu berburu Dzokhar, yang kala melaksanakan pengeboman sedang berkedudukan selaku mahasiswa Universitas Massachusetts Dartmouth. Ribuan polisi serta dilibatkan dalam pelacakan ini. Pada malam 19 April, Dzokhar terjebak lagi bersembunyi di suatu perahu.
Pada Agustus 2013, majalah Rolling Stone merendahkan informasi penting bertajuk“ The Bomber: How a Popular, Promising Student Was Failed by His Family, Fell into Radical Islam and Became a Monster”. Ini nyata rumor yang menarik. Tetapi bukan itu perkaranya. Rolling Stone memasang gambar setil Dzhokhar di bungkus depan, membuat banyak orang marah.
Baca juga : Mengenal dan Review Majalah TOP
Sersan Sean Murphy dari Kepolisian Massachusetts bilang pemajangan gambar itu di bungkus depan Rolling Stone merupakan aksi“ mengglamorkan wajah teroris, serta tidak cuma menyinggung keluarga korban yang terbunuh, tetapi pula dapat jadi desakan untuk mereka yang bernyawa labil buat buat[teror yang sama] supaya dapat timbul di bungkus Rolling Stone.”
Sebaliknya Orang tua Kota Boston Tom Menino menulis bungkus itu selaku,“ Memberi teroris dengan perlakuan selebritas.”
Perbincangan terjalin, karena The New York Times mengenakan gambar yang serupa pada Mei 2013, tetapi tidak memunculkan kegemparan. Matt Taibbi, kolumnis politik Rolling Stone, mempersoalkan mereka yang marah pada Rolling Stone tetapi tidak marah pada The New York Times. Bagi Taibi, ini seluruh sebab Rolling Stone telah lengket dengan imaji alat yang kegemerlapan, sering dikira selaku alat yang tidak mengupas rumor sungguh- sungguh.
“ Apa yang dicoba oleh NYT tidak mengundang kritik keras semacam yang dirasakan Rolling Stone, sebab seluruh orang ketahui Times merupakan badan informasi. Tetapi tidak seluruh orang ketahui mengenai Rolling Stone, tidak ketahui jika Rolling Stone pula badan informasi.”
Produk
Pada 1967, Jann Wenner cuma seseorang anak muda yang kebimbangan ditelan euforia Angkatan Bunga. Ia tidak percaya dengan kuliahnya di Universitas California, Berkeley, serta pada kesimpulannya memilah buat pergi pada 1966. Ia setelah itu banyak menulis, paling utama di majalah kampus. Wenner setelah itu bertugas di Ramparts, alat penyerbu kebijaksanaan penguasa( muckracker).
Wenner bersama teman bagusnya, Ralph J. Gleason, lalu kepikiran buat membuat alat terkenal. Mangulas nada, tetapi pula ucapan pertanyaan politik. Terlebih di dasawarsa 1960- an, politik merupakan benda berarti serta dibahas di mana- mana.
“ Dikala itu saya serta Ralph hendak meringik, kenapa dapat tidak terdapat majalah yang menulis sungguh- sungguh mengenai rock n roll, tidak cuma musiknya, tetapi pula mengenai ujung penglihatan sosial serta kultural. Jadi dibanding nunggu, kita buat sendiri,” ucap Wenner.
Dengan pinjaman 7. 500 dolar dari keluarga serta calon mertua, 2 orang ini setelah itu membuat Rolling Stone.“ Dikala itu saya sedang 21 tahun. Sedang anak,” tutur Wenner.“ Kita bernama Rolling Stone tidak cuma termotivasi oleh band Rolling Stones, tetapi pula lagu Muddy Waters serta lagu Bob Dylan.”
Kantor awal Rolling Stone merupakan ruang gratisan di kantor percetakan. Cuma terdapat sebagian meja serta kursi di situ. Di bulan- bulan dini, penulisnya cuma Wenner serta sebagian penyumbang. Versi awal Rolling Stone keluar pada 9 November 1967, pas hari ini 51 tahun kemudian.
Semenjak dini keluar, Rolling Stone berformat 2 mingguan. Terkini pada medio 2018, Rolling Stone berganti bentuk jadi majalah bulanan.
Informasi penting versi awal bercerita mengenai duit yang lenyap di kegiatan pergelaran Monterey Pop. Tema yang sungguh- sungguh ini terencana didapat Wenner buat membuktikan kalau Rolling Stone bukan” semata- mata fanzine, kita majalah handal dengan keterampilan berita yang baik.”
Bungkus awal Rolling Stone merupakan lukisan John Lennon yang lagi syuting film penciptaan Inggris, How I Won the War. Bagi Wenner, tidak terdapat alibi spesial mengapa Lennon diseleksi di kover.“ Betul sebab fotonya baik saja. Tetapi fotonya cocok, menandakan nada, film, serta politik, suatu yang hendak kita tempuh,” ucapnya.
Nanti, pada 5 Desember 1980, John Lennon diwawancarai pengedit Rolling Stone, Jonathan Cott. Tanya jawab sepanjang 9 jam itu jadi tanya jawab terakhir Lennon. 3 hari setelah itu, ia ditembak mati oleh Mark David Chapman.
Ganti Kertas, Alih Kantor, Ubah Gaya
Pada 1970- an, Rolling Stone jadi kian besar. Tadinya mereka merupakan salah satu julukan terbanyak di alam penyusunan terkenal, setelah itu jadi yang terbanyak. Joe Hogan, pengarang memoar Jann Wenner, memperhatikan pergantian ini, yang setelah itu diiringi pergantian materi majalah, kemudian alih kantor.
“ Begitulah caramu menarik pembaca. Tingkatkan performa, dari kertas ekonomis ke kertas yang glossy, pula alih dari San Francisco ke Manhattan,” catat Hogan.
Di masa 1970- an, Rolling Stone pula menabalkan diri selaku alat nada yang bangun politik. Salah satu pengarang yang membuka adat- istiadat catatan politik di situ merupakan Hunter S. Thompson. Postingan awal pengarang yang melahirkan jenis jurnalistik gonzo itu merupakan“ The Battle of Aspen”, cerita mengenai dirinya yang turut dalam penentuan kepala sheriff di Colorado.
Di era itu pula, Rolling Stone melahirkan penulis- penulis yang nanti jadi populer. Mulai dari Lester Bangs, Joe Klein, Ben Fong- Torres, Greil Marcus, serta pasti saja Cameron Crowe. Ia yang setelah itu membuat film Almost Famous, cerita mengenai reporter belia bernama William Miller yang menjajaki band delusif Stillwater buat ditulis ke Rolling Stone. Cerita Miller didapat dari pengalaman Crowe kala menjajaki rekreasi serempak The Allman Brothers, Led Zeppelin, pula Lynyrd Skynyrd.
Pada 1980- an, Rolling Stone kembali memperlebar jangkauannya. Mereka tidak cuma mengulik nada, tetapi pula adat hiburan lain. Dari film, sampai cerita selebritas. Itu lalu bersinambung sampai 1990- an kala Rolling Stone mulai berusaha menangkap pembaca belia dari angkatan yang berlainan. Hingga Rolling Stone banyak menulis mengenai kegiatan tv terkenal, pula kehidupan bintang film serta aktris yang lagi digandrungi.
Samuel Freedman, mantan wartawan The New York Times serta guru di Columbia University Graduate School of Journalism, mempersoalkan pergantian style itu dengan mengatakan Rolling Stone sudah“ menjual intelek mereka.”
Berikutnya, dari situ memanglah jalanan lalu turun untuk Rolling Stone. Mereka sebagian kali buat kekeliruan besar, walaupun artikel- artikel analitis dari Matt Taibbi banyak dipuji. Tetapi suara bantu lebih banyak terdengar. Semenjak masa 2000- an, kritik tiba dari pembaca yang menyangka Rolling Stone sangat doyong pada nada masa 1960- 1970- an.
Rumor Dzhokhar pula buat majalah yang sempat keluar di 21 negara—termasuk Indonesia—ini dikritik keras. Pada 2014, Rolling Stone muat informasi bertajuk“ A Rape on Campus”, yang menceritakan mengenai asumsi pemerkosaan massal di Universitas Virginia. The Washington Post mempersoalkan informasi itu, membeberkan kekeliruan, ketidakakuratan, pula kenyataan yang tidak dimasukkan dalam catatan.
Rolling Stone setelah itu menerbitkan 3 permohonan maaf sah atas narasi yang ditulis reporter Sabrina Erdely itu. Will Anggaran, yang pada 2014 berprofesi selaku Managing Pengedit, setelah itu membuat komisi analitis dari Columbia School of Journalism buat menyelidiki permasalahan dalam postingan itu.
Tetapi aksi itu tidak lumayan. Rolling Stone banyak digugat, bagus oleh perkumpulan mahasiswa Phi Kappa Psi, sampai dari Associate Dean Universitas Virginia, Nicole Eramo.
Walaupun banyak dikritik keras, Rolling Stone sedang senantiasa berupaya menggelinding. Jann Wenner menjual 49 persen saham majalah ini ke industri Singapore, BandLab. Kemudian pada Desember 2017, Wenner Alat memublikasikan 51 persen saham sisa telah dibeli oleh Penske Alat, suatu industri publikasi alat digital. Setelahnya, bentuk Rolling Stone berganti jadi bulanan.
Baca juga : Majalah Musik Indonesia yang Kamu Harus Tahu
Masa terkini memanglah telah tiba. Wenner telah tidak lagi turut aduk masalah Rolling Stone, anak ideologisnya yang terbuat dengan penuh antusias menggebu nan polos versi anak muda dini 20 tahun. Saat ini ia hendak memandang dari jauh, seberapa lama lagi Rolling Stone sedang dapat menggelinding.
Dalam kolomnya buat memeringati 50 tahun Rolling Stone yang ia catat buat The Guardian, Wenner menorehkan perasaannya, semacam melaporkan jalanan turun yang hendak lalu dilewati Rolling Stone.
“ Kita tidak hendak dapat lebih hebat lagi dibanding ini. Kita telah sempat di pucuk.”